Entri yang Diunggulkan

Lama kelana

Seperti baru berkedip, 2021 ternyata sudah dua tahun yang lalu. hampir tiga tahun malah. Sebagai mahasiswa akhir, seikit dilema. Ingin cepa...

Jumat, 10 Januari 2020

Dasar, Aku!!!!!


         


                  Mulut tetangga beraksi, seperti biasa tetangga selalu menganggap rumput milik sebelahnya lebih hijau. “Eh, kamu, si kesayangan kamu tuh, pergi kemarin sore ya. Kayaknya mau lamaran. Tapi sih, kayaknya yang dilamar bukan kamu ya…?”. Sontak aku yang mendengar mulut lamis tetangga yag sungguh menyinggung perasaan itu, segera  berjalan, beriringan dengan rintik hujan. Mencari cara agar dapat melupakan kenangan yang terlanjur menawan.  “Argh,,,,,,,,,”  Tertatih aku berjalan, menyusuri  lenggak lenggok setapak berlumpur. “Sungguh aku rapuh, aku rapuh” langkahku mulai terbata, mutiara air mataku tak nampak, tapi aku merasa tersayat  “sungguh aku tidak lagi kuat. Aku tidak kuat, ya, Aku tidak kuat.”  Aku memilih berhenti menikmati titik-titik hujan beriringkan petir kecil. Aku duduk terdiam di tepi jalan, aku sungguh patah. Beberapa kali kujambak rambut yang kurasa sudah tiada berguna lagi, kumaki diri sendiri. Mengapa mereka yang mulai mengisi hati, yang kita harapkan datang mengisi hari-hari harus begitu cepat dan mudah buat  pergi?  ‘Ah, nggak, nggak, nggak, dia nggak pergi, apalagi buat yang lain selain aku’ aku agak gemetar, tapi tetap mencoba meyakinkan diri. Kadang nyrocosnya tetangga itu membuat luka secara tiba-tiba, dan bikin putus asa.
                  Beberapa hari lagi tes semester tiba, aku dengan bagga menyambutnya, mempersiapkan diri agar tidak gagap saat menjawab soal nanti. Dalam kesibukan yang ku jalani, kemanapun mataku terarah, diam-diam dia menyelinap dalam pandangan.  “Ah, gila kali aku ya?”  aku menggerutu dengan apa yang aku alami. Dia bahkan ada di kertas soal  latihan ujian,  di papan tulis guru, kadang menyelinap diantara lubang sepatuku.Tapi hampir hal yang sama selalu terjadi, dan berulangkali. Aku bosan, tapi itulah yang harus kujalani, kehilangan yang dalam apalagi dengan kadar perasaan yang terlanjur dalam, membuat fase ‘melupakannya’ ini sulit ku lalui.
                     Lelaki bermata tajam itu tak pernah lagi menampakkan diri,  sekalipun bayangnya seolah mengikuti, melupakannya jadi seperti mustahil terjadi.  Untuk saat ini cara paling mudah untuk membuatkun perih adalah, saat ada seseorang menginggatkan aku padanya. Ya, ingatan tentang dia itu umpama luka yang ditaburi garam, teramat sakit.
                       Hari kian beranjak dan bulan berganti, aku akan belajar mencari jati diri. Aku yakin, kehilangannya bukanlah satu akhir yang musti diratapi. Beberapa kegiatan ku ikuti, mulai dari eskul sampai sore hari hingga beberapa kegiatan yang bikin aku pusing. Ya, setidaknya pusing memikirkan hal yang pasti ada jawabannya itu tidak lebih menyakitkan daripada memikirkan seseorang  yang tak jelas keberadaannya dimana. Tapi lagi-lagi, apapun yang kutatap selalu ada bayangannya yang diam diam menyusup mengacaukan konsentrasi.  “ Ya ampun. Dia dimana sih, dia dimana?”  aku melontarkan kata itu saat sedang dalam kumpulan anak kesenian, mereka yang menyadari tingkah laku  tidak jelasku langsung memboom aku dengan banyak pertanyaan mematikan.  “ eh, kamu kenapa sih gak bisa konsen? Bikin kita buyar ginikan? Kenapa sih,? Apa dia lagi, dan lagi?” mereka yang berulangkali menerima ketidak konsentrasianku dengan alasan yang sama mulai bosan. Aku merasa dalam keadaan gawat. “oke deh gini aja ya, karena kita persiapan buat segala sesuatunya udah mepet nih, mending kamu nggak usah diikutin dulu  di acara kita yang ini. Besok besok kalo ada acara, kamu mungkin bisa ikut lagi’ Mereka melanjutkan latihan drama, meninggalkan aku yang masih terpaku.
                     Aku pulang dengan lelah yang kurasa tak terbayar. Agak kecewa, tapi tak berdaya. Aku menyibukkan diri dalam perjalanan pulang, dengan menendangi kerikil tak bersalah.  “Argh…” kutendang kerikil yang agak besaran, dan ‘tong’ kerikil itu menggenai sepeda motor yang kebetulan lewat dengan lambat. Motor itu berhenti, pengemudinya turun berjalan menghampiri aku yang mungkin ia anggap sanggat bersalah.  “Woy?!!!!”  ‘ya ampun, dia’  “apa kabar kamu? Tuh istriku, oh ya, kamu udah lulus belum si sekolahnya. Eh, lupa, ini udah ujian belum si?”  aku cuma mlonggo ‘istri?’  “eh, ko diem aja sih, nih istriku”  ucapnya saat perempuan yang hidungnya mancung kaya pinokio pembohong itu mendekat. Aku menggulurkan tangan beramah tamah, ternyata yang diomongkan tetangga-tetanggaku dengan gaya nyinyirnya itu benar, aku tak selalu sepesial buat orang  yang tiba-tiba pergi tanpa ada sebabnya ini, tanpa mengucapkan pamit biar sepatah kata. Eh, pas dia pulang malah bawa istri, trus apa sih, manfaat aku ingat dia tiap hari? ‘argh….’
                 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar